Minggu, 04 September 2016

PERJALANAN MENDAKI GUNUNG PERJALANAN MENCARI JATI DIRI


Krisis identitas? Itulah yang sekarang menjadi momok serius para pemuda-pemudi Indonesia. Krisis identitas pada generasi muda bangsa Indonesia kini sudah mulai nampak seiring dengan kemajuan zaman, di kota metropolitan khususnya. Identitas yang di maksud bukanlah kartu pengenal data pribadi atau semacamnya. Ini lebih merujuk pada “identitas” diri masing-masing.
Indonesia dikenal sebagai negara dengan beribu pulau yang kaya. Ya, alam Indonesia memang kaya. Sayangnya kurang pengelolaan, baik oleh pemerintah setempat maupun warga sekitar. Iklan-iklan yang dijual oleh pemerintah hanya berupa baliho bergambar gubernur atau petinggi wilayah setempat, bukan gambar objek wisatanya. Miris kan? Minimnya informasi, fasilitas, transportasi dan lainnya lah yang membuat objek wisata itu terkurung. Bagaimana kita mau kenal dengan yang disebut kekayaan alam bangsa Indonesia?
Mirisnya lagi, kaum muda kita malah berbangga hati jika pergi ke objek wisata di luar negeri, berbelanja di Singapura, berdandan ala artis-artis Korea, dan yang lainnya. Sedikit anak muda yang mau belajar cara membatik, menari jaipong. Ahh terlalu banyak hal miris!
Krisis identitas yang saya maksud adalah jati diri. Jati diri itu apa sih? Singkatnya, jati diri itu adalah kepribadian kita. Menemukan jati diri itu sangat penting, apalagi di masa muda. Masa dimana seseorang mulai berontak melawan ketidaksesuaian antara otak dan kata hati. Saya pribadi pun sampai sekarang masih terus mencari pemahaman yang sebenarnya tentang jati diri. Bagaimana mencarinya? Yaitu dengan tidak berdiam diri di rumah.
Sekarang ini banyak kaum muda yang mencoba tidak diam di rumah. Mereka pergi mencari pemahaman jati diri dengan cara traveling. Katanya dengan melihat keluar kita akan mengenali diri sendiri. Disamping mencari jati diri, traveling juga merupakan upaya memahami dan memperkenalkan kekayaan alam dan budaya bangsa kita pada dunia luar dengan cara masing-masing. Tapi saya, saya memilih mencari identitas diri dengan memasuki dunia penuh petualangan. Saya ingin menguji diri, apakah saya sanggup melawan ego dan kerasnya hati?
Tapi kenapa harus dunia yang penuh petualangan, kenapa saya memilih mendaki gunung dibandingkan traveling atau wisata budaya?
Jawabannya sama dengan pertanyaan: kenapa suka traveling, kenapa suka menari, kenapa suka photography, dan suka-suka lainnya. Karena ada banyak hal yang tidak bisa saya ungkap satu persatu mengenai alasan kenapa saya memilih mendaki gunung. Its too complicated!
Ada satu kutipan yang menyatakan “suatu bangsa tidak akan pernah kehilangan pemimpin apabila generasi mudanya suka berpetualang dan mendaki gunung.”
Nah, kembali lagi ke pertanyaan kenapa harus dengan cara mendaki gunung? Apa enaknya mendaki gunung? Yang biasanya hanya traveling di kota, pantai atau lebih memilih memahami adat budaya bangsa dan juga orang yang tidak suka mendaki gunung pasti terheran-heran dan bertanya-tanya, kenapa saya rela berlelah-lelah membawa tas sebesar karung beras lalu berjalan kaki ribuan meter, menanjak pula?! Kenapa saya rela menghabiskan malam tidur di dalam tenda dengan suhu sedingin kulkas? Bersusah payah jalan, merangkak dan melewati jalan setapak yang sempit dan berbatu? Bahkan tidak jarang dikelilingi tumbuhan berduri. Atau mengambil resiko tersesat di gelapnya hutan rimba? Kenapa tidak berjalan-jalan di kota saja yang jelas lebih mudah? Atau mungkin, kenapa tidak diam saja di rumah? Tidur enak, ingin makan dan minum enak, mau berbuat apapun juga enak. Kenapa harus dipersulit dengan mendaki gunung? Padahal orang mendaki gunung toh akan kembali turun lagi.
Kalau dilihat dari sudut pandang seperti itu mendaki gunung sama sekali tidak menyenangkan. Tidak ada untungnya berjalan kaki ribuan meter? Apa enaknya berada di hutan rimba? Mau makan saja harus susah payah masak dulu, merepotkan! Di gunung juga tidak ada listrik, tidak ada signal HP, tidak bisa internetan, tidak ada kamar mandi. Bahkan banyak gunung yang tidak ada sumber airnya. Lalu kenapa saya masih suka menghabiskan uang, waktu dan tenaga demi mendaki gunung?
Kalau pertanyaan itu diulang lagi jawaban setiap orang pasti berbeda-beda. Tapi buat saya (dan mungkin juga bagi kebanyakan orang) salah satu yang menjadi alasan kenapa memilih mendaki gunung adalah karena disana saya akan menemukan sebuah tantangan dan unsur petualangan yang harus dihadapi. Sama seperti tujuan saya, ingin menguji diri. Yang jelas, tidak akan saya temukan kalau hanya berdiam diri di rumah.
Hal lain yang membuat saya memilih mendaki gunung adalah disana saya bisa menemukan keindahan, kedamaian, dan ketenangan. Baik suasana yang dirasakan secara fisik maupun suasana hati yang ikut merasakan keindahan dan kedamaian tersebut. Menurut saya, banyak manfaat yang didapat kalau mendaki gunung. Di gunung, saya mengerti bahwa dalam hidup ini ada yang lebih penting dari harta semata. Saya belajar tentang kebersamaan, belajar bahwa diperlukan sebuah perjuangan untuk mendapatkan sesuatu yang berharga. Ketika tersesat saya belajar bagaimana berfikir dan bersikap cepat, tanggap, dan tepat. Dan saat itu pula saya dituntut untuk selalu tenang dalam menghadapi apa yang ada di depan. Saya akan belajar tentang mengambil resiko, tentang tanggung jawab, tentang keberanian. Saya akan menguji diri sendiri. Selain itu, dengan menyaksikan keindahan dan kekayaan alam yang ada di negeri ini, akan menumbuhkan rasa syukur yang luar bisa terhadap Sang Maha Pencipta betapa luar bisanya Dia menganugerahkan kekayaan alam yang terbentang begitu indah yang tersimpan ribuan meter diatas permukaan laut. Serta akan memunculkan pula suatu perasaan cinta yang kuat pada tanah air. Rasa nasionalisme. Dan saya pun akan menjadi lebih bangga menjadi “orang Indonesia”.
Soe Hok Gie saja pernah berkata “kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami, kami katakan bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya bisa mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal objeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung.”
Dan kalau masih ada yang bertanya kenapa saya memilih mendaki gunung? Saya kira tidak ada satupun (termasuk saya sendiri) yang bisa menjabarkan jawabnya. Yang jelas tidak ada jawaban yang tepat untuk menjawab pertanyaan seperti itu, di gunung hanya ada sesuatu untuk dirasakan namun sulit di jelaskan. Harus mendaki gunung untuk bisa mengerti jawabannya.
Banyak orang bilang mendaki gunung adalah pekerjaan bodoh, gila, capek, kotor, orang yang mencintai kematian dan berbagai macam sebutan lainnya untuk seorang pendaki dari orang-orang awam yang sebenarnya belum benar-benar mengetahui hakekat dari mendaki gunung. Toh, para pendaki gunung tetap berjalan dengan tekad dan semangat. Pernahkah orang awam berpikir bahwa untuk mencapai puncak suatu gunung memerlukan suatu proses yang panjang dan melelahkan? Namun dibalik setiap proses yang dilalui tersimpan hikmah perjalanan hidup manusia dan bagaimana seseorang menghargai kehidupan. Disinilah saya akan berproses dan proses inilah yang tidak dipahami dan dialamai oleh orang awam lainnya. Proses mencari identitas diri. Mungkin saja jika setiap orang memahami dan meresapi proses ini maka akan ramai yang akan mendaki gunung serta berpetualang di alam bebas.
Banyak hal yang harus dilakukan sebelum mendaki gunung. Salah satunya harus mengetahui keadaan medan yang akan dilalui serta berapa lama perjalanan yang akan ditempuh. Disinilah proses belajar itu dimulai, dimana saya mencoba memahami tempat yang akan dilewati walaupun kaki belum pernah melangkah kesana. Disinilah sebuah penghargaan terhadap hidup jelas terlihat. Saya menempa diri dengan kehidupan alam bebas yang buas namun bisa sangat bersahabat jika benar-benar mencintainya. Dalam proses ini saya belajar bagaimana bertahan hidup dengan perlengkapan seadanya serta bagaimana cara membangun kerja sama team yang solid jika pendakian dilakukan oleh lebih dari satu orang.
Ego harus dibuang jauh-jauh karena sama sekali tidak akan membantu proses pendakian, bahkan malah memperkeruh keadaan. Saya juga belajar untuk saling berbagi. Berbagi tenda yang sempit, berbagi makanan yang seadanya serta saling tolong menolong jika salah satu sedang mendapat kesusahan. Namun sesulit apa pun yang saya dapatkan, perjalanan itu tetap terasa nikmat dan akan sangat indah jika dikenang.
Disana, dipuncak gunung. Ya, cuma disana saya bisa menangis sejadinya. Menangisi diri yang ternyata tidak ada apa-apanya dengan kemegahan alam ciptaanNya. Menangisi ego, keserakahan dan keangkuhan diri. Disana, manusia itu hanya secuil debu. Disana saya hanya bisa berdiam diri, tertunduk malu. Mendaki gunung laksana menjalani kehidupan, tidak selalu manis, banyak rintangan yang harus dihadapi. Tapi itu semua tergantung bagaimana cara kita menjalaninya.
Bagaimanapun, setiap individu mempunyai cara tersendiri dalam menemukan identitas dirinya. Selayaknya lah kita saling mendukung. Bukan hanya berslogan, berbangga diri dengan mencap diri sebagai pendaki, traveler, diver, atau semacamnya. Sejatinya yang kita lakukan dengan tujuan menemukan jati diri sendiri sebagai generasi muda bangsa Indonesia yang kian pudar seiring maraknya citra negative yang banyak dilakukan generasi muda yang salah jalan. Sudah saatnya generasi muda berbuat sesuatu yang bisa menjadi alasan dalam setiap ucapan “saya bangga menjadi orang Indonesia”.

Source:

0 komentar:

Posting Komentar